Rabu, 14 Desember 2011

FID-DUNYA HASANAH WAFIL AKHIRATI HASANAH

Oleh Dr. KH. A. Mustofa Bisri
Diposkan oleh Abdus Syukur
Kepentingan pembangunan –seperti juga pada zaman revolusi, yaitu kepentingan revolusi– ternyata tidak hanya memerlukan dalil aqli, tapi juga dalil naqli. Apalagi jika masyarakat menjadi subyek –atau obyek– pembangunan justru “kaum beragama”.
Apabila pembangunan itu menitik beratkan pada pembangunan material (kepentingan duniawi), meski konon tujuannya material dan spiritual (kepentingan akhirat), maka perlu dicarikan dalil-dalil tentang pentingnya materi. Minimal pentingnya menjaga “keseimbangan” antara keduanya (materi bagi kehidupan dunia dan spiritual bagi kehidupan akhirat).
Maka, dalil-dalil tentang mencari –atau setidak-tidaknya tentang peringatan untuk tidak melupakan– kesejahteraan dunia pun perlu “digali” untuk digalakkan sosialisasinya.
Tak jarang semangat ingin berartisipasi dalam pembangunan material –yang menjadi titik berat pembangunan– ini mendorong para dai dan kyai justru melupakan kepentingan spiritual bagi kebahagian akhirat. Atau setidaknya, kurang proporsional dalam melihat dua kepentingan itu.
Ketika berbicara tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi, biasanya para dai tidak cukup menyitir doa sapu jagat saja : Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, biasanya, mereka juga tidak lupa membawakan hadis popular ini : I’mal lidunyaka kaannaka ta’isyu abadan wa’mal liakhiratika kaannaka tamuutu ghadan, yang ghalibnya berarti “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup abadi dan beramallah kamu untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok pagi”. Kadang-kadang, dirangkaikan pula dengan firman Allah dalam surat al-Qashash (28) ayat 77 : “Wabtaghi fimaa aatakallahu ‘d-daaral aakhirata walaa tansa nashiibaka min ad-dunya…” yang menurut terjemahan Depag diartikan, “Dan carikan pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan kebahagiaan dari (kenikmatan) duniawi…”.
Umumnya orang –sebagaimana para dainya– segera memahami dalil-dalil tersebut sebagai anjuran untuk giat bekerja demi kesejahteraan di dunia dan giat beramal demi kebahagiaan di akhirat.
Kita yang umumnya –tidak usah dianjurkan pun– sudah senang “beramal” untuk kesejahteraan duniawi, mendengarkan dalil-dali ini rasanya seperti mendapat pembenar, bahkan pemacu kita untuk lebih giat lagi bekerja demi kebahagiaan duniawi kita.
Lihat dan hitunglah jam-jam kesibukan kita. Berapa persen yang untuk dunia dan berapa persen yang untuk akhirat kita? Begitu semangat –bahkan mati-matian– kita dalam bekerja untuk dunia kita, hingga kelihatan sekali bahwa kita memang beranggapan bahwa kita akan hidup abadi di dunia ini.
Kita bisa saja berdalih bahwa jadwal kegiatan kita sehari-hari yang tampak didominasi kerja-kerja duniawi, sebenarnya juga dalam rangka mencari kebahagiaan ukhrawi. Bukankah perbuatan orang tergantung pada niatnya, “Innamal a’maalu binniyaati walikullimri-in maa nawaa.” Tapi, kita tentu tidak bisa berdusta kepada diri kita sendiri. Amal perbuatan kita pun menunjukkan belaka akan niat kita yang sebenarnya.
Padahal, meski awal ayat 77 surat al-Qashash tersebut mengandung “peringatan” agar jangan melupakan (kenikmatan) dunia, “peringatan” itu jelas dalam konteks perintah untuk mencari kebahagiaan akhirat. Seolah-olah Allah –wallahu a’lam– “sekedar” memperingatkan, supaya dalam mencari kebahagiaan akhirat janganlah lalu kenikmatan duniawi yang juga merupakan anugerahnya ditinggalkan. (Bahkan menurut tafsir Ibn Abbas, Walaa tansa nashiibaka min ad-dunya” diartikan Janganlah kamu tinggalkan bagianmu dari akhirat karena bagianmu dari dunia”).
Juga dalil I’mal lidunyaaka… –seandainya pun benar merupakan Hadits shahih– mengapa tidak dipahami, misalnya, “Beramallah kamu untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidaup abadi.” Nah, karena kamu akan hidup abadi, jadi tidak usah ngongso dan ngoyo, tak perlu ngotot. Sebaliknya, untuk akhiratmu, karena kamu akan mati besok pagi, bergegaslah. Dengan pemahaman seperti ini, kiranya logika hikmahnya lebih kena.
Sehubungan dengan itu, ketika kita mengulang-ulang doa “Rabbanaa aatinaa fid-dunya hasanah wa fil akhirati hasanah,” bukankah kita memang sedang mengharapkan kebahagiaan (secara materil) di dunia dan kebahagiaan (surga) di akhirat, tanpa mengusut lebih lanjut, apakah memang demikian arti sebenarnya dari hasanah, khususnya hasanah fid-dunya itu?
Pendek kata, jika tak mau mengartikan dalil-dalil tersebut sebagai anjuran berorientasi pada akhirat, bukankah tidak lebih baik kita mengartikan saja itu sebagai anjuran untuk memandang dunia dan akhirat secara proporsional (berimbang yang tidak meski seimbang).
Memang repotnya, kini kita sepertinya sudah terbiasa berkepentingan dulu sebelum melihat dalil, dan bukan sebaliknya. Wallahu a’lamu. (Majalah Mata Air)

Tidak ada komentar: